Oleh: Aktivitas Sarumaha (Praktisi CMDRR CKS)
Apakah bencana dari
waktu ke waktu semakin bertambah atau semakin berkurang? Apakah bencana
belakangan ini semakin sering terjadi jika dibandingkan beberapa abad yang
lalu? Adakah satu tempat di muka bumi ini yang steril dari fenomena bencana
alam? Apakah perubahan iklim dan pemanasan global itu sungguh terjadi? Siapa
yang paling rentan dengan peristiwa bencana dan perubahan iklim? Apakah
masyarakat khususnya di pedesaan sungguh menyadari hal ini? Seberapa jauh
masyarakat dari kelompok rentan/ marjinal siap dengan fenomena bencana? Ini
adalah pertanyaan-pertanyaan yang terus menyedot perhatian masyarakat global
terutama para pegiat kebencanaan. Diskursus kritis tentang membangun kelentingan
(resiliency) atau keberdayatahanan masyarakat terus digulirkan.
Ilustrasi
kelentingan ini ibarat pegas atau per yang ditekan akan mengeper kembali. Atau
bola pimpong yang dipukulkan ke lantai namun akan melenting kembali.
Keberdayatahanan manusia terhadap bencana adalah satu proses mengadaptasikan
dan memulihkan diri saat terjadi bencana. Salah satu elemen dalam keberdayatahanan
masyarakat terhadap bencana adalah terciptanya ketahanan pangan masyarakat.
Pangan menjadi satu komoditas yang sangat penting saat terjadi bencana. Oleh
karena itu sangat penting mendorong masyarakat untuk membangun sistem ketahanan
pangan baik di tingkat keluarga maupun secara kolektif di tingkat masyarakat.
Upaya membangun
kebertahanan masyarakat dalam ketahanan pangan menjadi satu isu penting yang
terus di kampanyekan oleh proyek CMDRR sejak dari awal hingga sekarang. Salah
satu caranya dengan menghidupkan kembali kebiasaan masyarakat pedesaan untuk
menyiapkan lumbung pangan di tiap rumah. Kebiasaan ini dalam konteks Nias
dikenal dengan istilah “mangöhöna”. Secara
harafiah istilah mangöhöna mungkin
kurang lebih berarti mempersiapkan segala keperluan termasuk di dalamnya
makanan, kayu bakar, pakan ternak, dll. Biasanya kebiasaan mangöhöna dilakukan pada hari sabtu atau menjelang hari-hari besar
agama kristen karena ada pantangan agama untuk melakukan pekerjaan berat pada
hari-hari tersebut.
Kebiasaan mangöhöna menjadi salah satu kearifan
lokal untuk ketahanan pangan yang modelnya sangat relevan terhadap keberdayatahanan
keluarga jika bencana sewaktu waktu terjadi. Kebiasaan mangöhöna kemungkinan besar masih dapat ditemukan dan dipraktikan
oleh masyarakat pedesaan. Akan sangat menarik jika ada satu pengamatan mendalam
menilik trend kebiasaan mangöhöna
dari waktu ke waktu di masyarakat.
Kelompok perempuan di Desa Luahamoi mengelola demoplot pangan jagung |
Model lain dari
ketahanan pangan adalah terciptanya keberagaman pangan di masyarakat.
Keberagaman pangan maksudnya adalah adanya pilihan-pilihan pangan lainnya
selain pangan “mainstreaming”. Pangan mainstreaming adalah pangan yang bertumpu
pada komoditas beras. Masih segar diingat saya, saat berkunjung ke desa-desa
dampingan di Nias, ketika tuan rumah menyuguhkan makanan, pantang bagi mereka
menyajikan makanan selain nasi bagi tamu mereka. Nasi dipandang sebagai jenis
makanan prestisius. Sementara ubi,
pisang, talas, sagu ataupun jagung masih cenderung dipandang sebagai pangan
kelas dua. Cara pandang masyarakat dalam mengkotak-kotakkan pangan berpotensi
menciptakan ketergantungan pada satu jenis pangan saja dan mendiskriminasikan
pangan lainnya.
Diskriminasi pangan
tidak hanya terjadi pada jenis pangan ubi, pisang, talas dan sagu tapi juga
terjadi pada pangan dari sayur-sayuran. Sayur kol adalah jenis sayur primadona
yang dipandang layak untuk diberikan kepada tamu. Saya kurang tahu sejak kapan
jenis sayur kol menjadi sayur kelas satu di desa-desa di Nias namun yang
pastinya di hampir banyak acara, sayur kol seolah menjadi sayur wajib. Sayur
daun singkong, kangkung dan pakis adalah pilihan terakhir.
Kampanye keragaman
pangan adalah hal penting untuk penyadaran masyarakat terhadap isu ketahanan
pangan. Secara sederhana upaya ini terintegrasi dalam kegiatan pendampingan
proyek CMDRR di komunitas dampingan melalui kegiatan latihan masak memasak yang
diorganisir oleh kelompok perempuan. Dalam
latihan masak memasak tersebut, rasa percaya diri masyarakat dibangun
untuk menggunakan jenis-jenis pangan lainnya dengan memvariasikan cara
pengolahannya.
Semoga dengan
mengembangkan sistem kesiagaan pangan melalui melalui lumbung pangan dan bibit
serta kampanye keanakaragaman pangan, diharapkan berkontribusi besar dalam menciptakan
ketahanan pangan untuk keberdayatahanan masyarakat terhadap bencana Ω
Let's create our own world through writing, cinematography, photos, etc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar