Jumat, 24 September 2010

Surat Untuk Tuhan

Tuhan aku mau tulis surat untukMu
Karena hanya padaMu aku bisa curhat
Aku tak bisa cerita banyak ke yang lain
Hanya padaMu aku ingin cerita

Sebenarnya ada hal penting dan
Sangat sulit untuk aku ungkapkan
Aku ingin jujur tentang satu hal
Tapi aku takut...

Aku takut orang lain takkan pernah mau mengerti
Takut jika yang lain tertawa
Takut pabila yang lain menghindar
Terlebih aku takut jika hal ini tak layak Kau dengar

Aku banyak dengar tentang Engkau
Engkau tahu banyak hal tentang Aku
Setidaknya itulah yang orang lain katakan tentang Engkau
Karena Engkau Maha Tahu apa perlu aku beritahu semuanya padaMu?

Aku ingin cerita banyak
Tentang kisahku diatas bentala hijau
Yang sudah mulai mengering
Kisah-kisahku menjalani waktu

Tapi aku merasa Engkau begitu jauh
Sulit untuk digapai suratku ini
Mungkin sebaiknya aku tak perlu curhat padaMu
Karena Engkau sudah tahu apa yang sebenarnya ingin kukatakan.

By Aktivitas Sarumaha

Selasa, 21 September 2010

BE STRONG

Claudia Gonsalves

Be strong black men, be strong!
Don't let the oppressors break you down
don't let them;
don't let them take your strength
and suppress it in a prison cell
don't let them, black men,
don't let them!

Don't accept their drugs
and distribute them
instead of hugs
don't do it black men,
don 't do it!

Don't let them turn your mind
and leave you completely blind
be strong, black men,
be strong!

Use your strength
to build our nation
by building up your mind
by building up our communities
by being nice and loving to your own kind
and by sharing some quality time.
Remember that we're hurting too
so be kind to us, black men,
be kind.

Improve your life
share your thoughts
share your hurts with your family
we sincerely care about you.
Be there for your children
be there for your parents
be our support.
Be there for us, black men,
be there!

Be our hope
be our lighthouse
to guide us to a brighter, better future.
Be our fortress to protect us from negative forces
from those who want to destroy us.
Protect us, black men,
protect us!

When it seems there is nowhere else to go
look around you, we're here for you.
We are your strength
we're here for you, black men,
we're here.
Just reach out or call
but most of all
be strong, black men,
be strong!

© Claudia A. Gonsalves

Jumat, 17 September 2010

Majalah Bahana: Buang Ilusi Sesat pada Sekolah dan Universitas

Taken from Majalah Bahana

Menurut Andrias “Manusia Pembelajar” Harefa, hanya ada dua hal yang mungkin terjadi ketika kita mencoba merenungkan atmosfer pendidikan kita, yakni menangis atau gila. Alasannya? Dalam sejarah, pendidikan di Indonesia belum pernah mengemban tugas sesuai dengan perannya. Ia dikebiri dan secara sembrono disamakan dengan pengajaran yang artinya sangat berbeda. Tidak hanya itu, jagad pendidikan senantiasa dipolitisir demi kepentingan penguasa sehingga hasilnya sangat menyedihkan. Dalam salah satu bukunya, ayah dua putri ini bahkan menyitir dan mengapresiasi sinyalemen Pastor Sindhunata, SJ yang mengatakan bahwa pendidikan kita hanya melahirkan air mata. Untuk mengetahui lebih jauh pandangan pengagum Alvin Toffler dan penulis sejumlah buku best seller terbitan KOMPAS ini, berikut wawancara eksklusif wartawan kami E. Dapa Loka:

Anda adalah salah seorang di republik ini yang berkeputusan tidak menyelesaikan kuliah. Mengapa itu terjadi?
Bisa sederhana, bisa juga didramatisir. Sejak mulai kuliah saya selalu mencari alasan kenapa saya kuliah. Apakah karena teman saya kuliah lalu saya juga kuliah? Apakah kalau nggak kuliah saya nggak bisa apa-apa? Pertanyaan lain yang muncul kemudian adalah kenapa saya harus lulus? Apa gunanya gelar? Tiga bulan pertama saya sudah kecewa dengan kuliah. Saya kuliah di UGM dengan mutu yang cukup baik waktu itu. Tapi begitu mulai kuliah, ternyata kuliah itu begitu membodohkan. Sifatnya hafalan, sikap para dosen tidak demokratis. Kalau di fakultas teknik mungkin saya masih bisa terima tapi ini di fakultas hukum. Orang tidak bisa berbeda pendapat dan dosen selalu benar.

Dalam pikiran saya yang sederhana ketika itu, sepintar-pintarnya dosen, seluruh kuliahnya hanya bisa mewakili satu buku karangannya sendiri. Kalau orang membaca buku lain, sangat bisa orang berbeda pendapat. Sepanjang itu argumentative, dia harus bisa hargai. Kalau tidak, maka sebetulnya, dia menciptakan mesin-mesin penghafal. Dan generasi saya adalah generasi yang mengkritik bahwa pendidikan tinggi kita hanya melahirkan beo-beo. Persis penataran, semua diseragamkan. Pikiran diseragamkan dan kasarnya, kentut pun diseragamkan. Itu jelas proses dehumanisasi.

Saya lebih banyak main di luar. Kalau bolos bukan bolos kuliah tapi bolos ujian. Apa sih artinya nilai A atau B? Saya tidak menemukan jawaban yang final sampai saya sudah menyelesaikan 142 SKS, sudah bisa KKN, susun skripsi dan wisuda. Tapi justru saat itu kekecewaan saya memuncak. Saya bilang, selama saya belum menemukan alasan kenapa harus lulus dan bergelar, ya sudahlah saya berhenti saja. Apalagi sejak awal kuliah saya sudah memutuskan untuk tidak akan membuat surat lamaran pekerjaan sehingga ijazah saya tidak akan pernah difoto kopi.

Apa yang membuat Anda mencoba berpikir lain atau kritis terhadap profil pendidikan kita?
Kalau kita betul-betul belajar, kita bisa mengkontribusikan sesuatu. Kita bisa mencipta atau membuat sesuatu. Kita tidak hanya sekadar memperpanjang barisan pencari kerja. Saya confidence saja.
Dari alasan Anda berhenti kuliah tadi, dapatkah saya simpulkan bahwa Anda adalah seorang yang tengah gelisah atau digelisahkan oleh situasi pendidikan ketika itu?

Mungkin betul. Yang jelas saya sendiri gelisah dengan sistem semacam itu tapi saya juga tidak bisa memberikan pemecahan dalam kapasitas saya ketika itu. Paling–paling efeknya, saya lebih suka ikut kelompok studi. Beberapa teman kelompok studi kini sudah menjadi “selebritis elit” di Indonesia seperti Rizal Mallarangeng, Denny J.A. Bonar Tigor Naipospos yang tertangkap membawa buku Marx lalu dipenjarakan juga teman diskusi. Saya bukan tokoh, saya hanya rajin ikut dalam forum-forum diskusi “gelap” itu. Emha Ainun Nadjib, Arief Budiman sering datang. Rasanya itu jauh lebih menarik dari pelajaran-pelajaran di kampus karena kita bicara hal-hal yang sangat real. Kalau di kampus kita selalu membicarakan pendapat orang jadi sering nggak nyambung sama hidup.

Dalam pengamatan Anda, apa sih yang menyebabkan sistem pendidikan kita seperti itu?
Ini tidak bisa lepas dari konteks politiknya. Politik kita kan sangat represif. Atasan selalu benar, jenderal selalu benar. Tidak ada suara oposisi. Secara keseluruhan budaya politik kita sangat berpengaruh terhadap pendidikan. Pendidikan itu dirancang buat apa? Seperti pada zaman Belanda saja, yakni untuk mensuplai tenaga abtenar yang melestarikan status quo. Pendidikan kita dipolitisir. Bagaimana jiwa kritis bisa berkembang dalam satu system yang secara nasional dipolitisir?

Jadi apakah boleh dikatakan, ketika terjadi politisasi terhadap pendidikan di saat yang sama pula telah terjadi pengingkaran terhadap makna pendidikan itu sendiri?
Ya, pasti! Kecuali kalau sistem politik itu berkembang ke arah yang demokratis. Kalau kita lihat persoalan Indonesia sekarang, seluruhnya bisa diselesaikan dengan satu kata. Dan kata sakti itu adalah “pendidikan”! Tetapi ini pemecahan jangka panjang. Masalah kita adalah masalah manusia, masalah sumber daya, ketidakmampuan, kebodohan yang semuanya berakar pada manusia Indonesia. Yang paling rasional adalah pendidikan. Jadi pendidikan itu selalu bersifat jangka panjang. Persoalannya, kita selalu memikirkan hal yang bersifat jangka pendek. Kalau saya mau pakai bahasa yang lebih tegas, saya senang dengan definisinya Nurcholish Madjid tentang apa itu dosa. Dosa itu apa saja yang dalam jangka pendek membawa kesenangan tapi dalam jangka panjang membawa kesengsaraan.

Bercermin dari definisi tersebut, sebenarnya bangsa ini telah tercebur dalam dosa yang sangat besar, begitu?
Saya kira begitu. Itu dosa structural dan juga dosa kita bersama.

Dalam banyak kesempatan termasuk dalam buku-buku Anda, Anda selalu memakai kata “pembelajaran”. Apa yang Anda mau katakan?
Pembelajaran itu adalah kata yang saya gunakan untuk menggantikan kata teaching-learning. Mengajar-belajar itulah pembelajaran. Kalau saya mengajar orang belajar maka ciri bahwa saya berhasil, begitu dia menyelesaikan tahap tertentu, dia menjadi manusia yang siap belajar bukan siap pakai. Dia belajar di mana? Di kehidupan. Jadi kalau universitas mempunyai cara berpikir yang benar, lulusan sarjana itu adalah orang yang mulai belajar di masyarakat. Bukan orang yang sok pintar mengajari masyarakat. Itu kacau sekali. Kebanyakan sarjana nggak mau melakukan pekerjaan tidak “mentereng”. Mereka merasa sudah punya sesuatu. Berapapun akumulasi pengetahuan yang mereka kumpulkan kalau belum bisa dikaitkan dengan persoalan real, menjadi bukan apa-apa. Jadi paling masuk akal kalau universitas kita menghasilkan orang yang siap belajar. Kalau dia tidak siap belajar, sok pintar dia jadi kurang ajar.

Lalu bagaimana seorang keluaran sebuah tahap pembelajaran tertentu menempatkan hasil belajarnya ketika ia mulai masuk dalam dunia riil?
Pertanyaan ini bisa dijawab dengan satu pertanyaan, apa tujuan dari proses pendidikan, pengajaran, dan pelatihan? Dalam bahasa umum, semua ini disebut pendidikan tapi corak yang saya sebut pendidikan adalah hal yang bersifat informal, pengajaran itu selalu formal dan pelatihan itu yang non-formal.

Lalu apa yang bisa diharapkan dari ketiganya bagi kaum muda?
Buat saya, pertama, kalau kita pakai cara berpikir “serba siap”, kita menjadi orang yang siap hidup. Dalam konteks seperti apa pun mereka siap. Siap yang kedua, mereka selalu siap mengejar pengetahuan. Ini menyangkut budaya baca sesudah sekolah-sekolah formal itu diselesaikan. Yang ketiga, secara fisik mereka harus siap berkarya. Jadi kita mempersiapkan orang muda untuk siap hidup menjadi dirinya sesuai dengan talenta padanya lalu punya karya yang bisa disumbangkan bagi masyarakatnya. Dia juga harus menjaga kerendahan hatinya untuk selalu belajar. Ini yang bersifat personal. Ketika ia berhubungan dengan masyarakat ada hubungan interpersonal. Maka siap yang keempat adalah dia siap bekerja sama, siap hidup damai bersama dalam perbedaan. Proses pendidikan, pengajaran dan pelatihan merupakan tanggung jawab masyarakat secara keseluruhan. Seandainya sekolah, universitas bisa mempersiapkan alumninya menjadi siap belajar saja, itu sudah bagus. Sekarang ini nggak siap apa-apa. Hidup nggak siap, belajar nggak siap, sok pintar, berkarya nggak bisa, selalu menyusahkan orang. Pengangguran itu kan menyusahkan orang. Siapa yang ngurusi kalau you nganggur? Jadi parasit dalam masyarakat. Tapi itu tidak bersifat individual. Saya harus katakan, ini tidak bisa dibebankan menjadi tanggung jawab perseorangan. Ini sangat terikat pada konteks sistem politik kita.

Soal belajar tadi, apakah boleh dipahami bahwa seumur hidup orang berada dalam proses belajar tapi pada tahap tertentu, dia mulai berkarya?
Ya! Kita lihat saja proses naturalnyalah. Bayi itu bisa apa? Tanpa proses belajar, bayi itu mati. Masa yang paling baik di mana bayi belajar dengan kecepatan paling mengagumkan adalah balita. Mengapa orang dewasa tidak lagi mengalami keajaiban dalam pertumbuhan? Karena dia berhenti belajar! Apa pun yang kita perlukan untuk memperbaiki taraf hidup menurut saya ada di sekitar kita. Tetapi untuk melihat hal itu, orang harus melek nggak bisa buta. Kebanyakan orang itu buta. Dia mencari ke mana-mana padahal itu ada di sekitarnya.

Kalau saya bilang buta, saya memahami manusia itu melihat dengan tiga macam mata, yakni mata inderawi, mata budi atau mata pengetahuan dan yang ketiga mata jiwa atau mata batin. Bisa saja mata inderawi orang itu melek tapi dua matanya yang lain buta. Budinya tidak wajar.

Konsep apa yang Anda tawarkan untuk menyongsong pendidikan yang lebih baik?
Yang pertama, kita harus buang harapan yang berlebihan terhadap sekolah dan universitas. Orang tua menjual sawah dan ladang supaya anaknya jadi sarjana, kan? Hal ini didorong oleh harapan bahwa begitu anaknya jadi sarjana, maka segala sesuatu akan gampang dilakukan dan berhasil. Ini pikiran sesat di dalam masyarakat. Berapa banyak petani yang sesudah anaknya jadi sarjana, anaknya menganggur sementara tanah pertaniannya sudah hilang lalu menjadi buruh tani? Bukannya tambah makmur, malah tambah susah. Kenapa? Karena kita terlalu mendewa-dewakan hal yang bersifat formal. Kalau kerja harus kantoran. Jadi buanglah ilusi sesat pikir itu.

Yang kedua, kita harus mengembalikan proses belajar secara total, yakni holistic atau integrated learning. HATI (holistic, authentic dan integrated), disingkat “Hati Learning”. Ini konsep yang belum selesai tapi sudah ada dalam pikiran saya. Jadi kalau kita lihat dalam proses HATI learning ini, maka konsep belajar harus ada dan dimulai dari rumah. Di luar negeri disebut semacam home schooling. Daripada memasukkan anak-anak ke sekolah yang tidak bermutu lebih baik di rumah tapi pemerintah harus memberikan alat-alat, modul atau kurikulumnya.

Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa bekerja bukan berarti putus belajar. Kita ini memang dikutuk tiga kali: kutukan itu kita peroleh melalui sejak SD-SLTA. Kutukan itu namanya STTB. Ini kan nggak masuk akal. Yang tamat belajar itu kan orang mati. Jadi kita dikutuk mati karena nggak mati lalu belajar lagi. Dan cara sesat pikir seperti ini tidak saja terjadi di Indonesia tapi terjadi secara global. Ini juga yang terjadi dengan iklan ajakan “ayo sekolah” itu. Bukan saya nggak setuju orang sekolah, silakan saja. Ajakan itu menyesatkan menurut saya. Esensinya itu bukan sekolah. Beda kalau saya bilang ayo belajar. Apa yang terjadi di sekolah? Ya, penjejalan, perlakuan yang tidak manusiawi. Di sana ada pengajar yang suka korupsi dengan cara menyedihkan. Ponakan saya kelas VI SD mengikuti Ebtanas, gurunya memberi contekan. Semua murid yang ikut les privat pada guru itu diberi contekan.

Yang keempat, community learning. Ini proses yang sebagian terjadi lewat pendampingan LSM. LSM itu kan konsepnya community, yakni pengembangan berdasarkan komunitas. Maka sangat baik kalau LSM-LSM kita punya perpustakaan yang baik, bukan ngurusi dirikan sekolah. Yang paling masuk akal untuk pengembangan pendidikan di daerah terpencil adalah pengajar keliling. Di Nias menurut saya pengajar keliling yang lebih relevan bukan bangun gedung sekolah. Mengajar bukan harus di kelas.

Siapa yang memulai?
Kita harus memulai. Kita harus berhenti menunggu orang lain memulai. Bahwa pemerintah harus digugat terus, ya! Tapi kita harus melakukan. Kita harus bertumpu pada masyarakat. Kalau bicara soal civil society, motor penggeraknya adalah sipil, masyarakat warga, masyarakat otentik. Jadi kitalah yang memberdayakan kita. Jangan tunggu, tolong dong saya diberdayakan. Itu sontoloyo sekali. Tapi proses itu pasti tidak gampang dan pasti tidak cepat. Saya baru menggerakkan orang untuk mendukung program “Indonesia Belajarlah!” Ini juga bisa berarti, Indonesia Bertobatlah. Karena belajar dalam tahap yang paling dasar adalah perubahan dalam tingkat yang paling dasar. Belajar itu punya dimensi spiritual sampai di pertobatan atau metanoia.

Lalu apa yang bisa dikatakan dengan kondisi seperti ini?
Kalau kita mau jujur berkaitan dengan pendidikan di Indonesia, kemungkinan cuma dua, yakni kita gila atau nangis. Kalau nangis lalu nggak lakukan apa-apa, ya nggak ada artinya hidup ini. Yang diperlukan di Indonesia ini adalah ordinary people melakukan ordinary action dengan extraordinary commitment. Jadi kita orang-orang biasa bisa memperbaiki situasi ini. Nggak usah mencari orang-orang hebat. Kita bersepakat melakukan hal-hal sederhana dalam perspektif dua puluh tahun. Kalau banyak orang seperti itu, banyak harapan. Tapi kalau mengharapkan pemerintah atau depdiknas saja yang melakukan perombakan-perombakan, menurut saya nggak ada harapan.

Yang paling mungkin Anda gagas untuk Nias, apa?
Saya nggak mau menggagas apa-apa untuk Nias. Saya sangat sulit ditarik untuk melihat sesuatu yang bersifat primordial. Mungkin karena pengaruh dalam keluarga saya ada China, India, Belanda, Bali. Perspektif saya lebih Indonesia atau kemanusiaan secara umum. Tapi saya melihat akan ada prospek di Nias kalau motor penggeraknya adalah orang yang usianya 20-40 sekarang ini. Saya tidak punya kontribusi secara khusus tentang Nias tapi paling tidak kalau nama khas Nias itu disebut tidak memalukanlah. Saya nggak pernah ribut soal keniasan saya. Tapi kalau nama saya disebut, orang tidak melihat Nias itu melulu jelek.

Kalau mendifinisikan secara ringkas, pendidikan menurut Anda itu apa?
Kalau kita lacak dari etimologi kata itu saja education atau educare (Latin-red), artinya kan mengeluarkan sesuatu dari dalam. Apa yang dikeluarkan? Yakni potensi-potensi, bakat. Dinyatakan keluar. Ketika sesuatu diajarkan dari luar dan masuk, itu sama sekali bukan pendidikan. Teaching adalah dari luar ke dalam. Edukasi adalah proses apa pun yang kita alami bercampur aduk di dalam lalu coba kita keluarkan, kita nyatakan lalu keluarnya dalam bentuk karya. Jadi orang yang terdidik adalah orang yang produktif menurut saya. Tetapi orang yang terpelajar belum tentu. Terpelajar itu akumulasi pengetahuan. Jadi proses pendidikan adalah proses menyatakan “saya hadir, saya ada, saya bersama Anda”.

Dalam rangka meng-educare ini, kita sudah punya fasilitas belum?
Persoalannya adalah apakah kita mau menciptakan fasilitas. Atau lebih tegas lagi, apakah kita mau memainkan peranan sebagai fasilitator dan bukan sebagai intimidator? Pengajar dan dosen itu mau nggak jadi fasilitator proses belajar? Dalam proses ini bukan fasilitator yang penting. Fasilitator hanya menciptakan suasana dan aktornya adalah orang-orang yang difasilitasi. Nah ada nggak kerendahan hati dan kemauan politik sekuat itu di kalangan orang-orang yang berdiri di depan kelas dan mimbar kampus?

Dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia saat ini, Anda optimis nggak akan muncul pemimpin sekelas Leimena atau TB Simatupang, Syahrir, Bung Karno, I.J Kasimo atau yang lainnya?
Katanya kalau orang punya iman nggak bisa pesimis, ya? Kalau you tanya pada level keyakinan, saya akan memilih untuk yakin walaupun keyakinan saya itu dianiaya oleh perilaku elit politik khususnya. Ini kan menganiaya harapan rakyat biasa seperti saya ini. Optimisme saya justru muncul ketika melakukan aktivitas di level masyarakat. Di sana banyak sekali gerakan-gerakan yang hasilnya memang tidak bisa spektakular dalam jangka pendek tapi tetap jalan. Kalau orang baca koran akan frustrasi, kehilangan harapan dan menjadi sangat pesimistik. Tapi kalau kita lihat jaringan-jaringan dan proses-proses yang berjalan sekarang, saya kok optimis. Ada kegelisahan. Sepanjang ada kegelisahan dan cukup banyak orang yang gelisah pingin melakukan sesuatu, akan terjadi perubahan.

Apa yang Anda lakukan atas “penganiayaan” itu?
Ya, kita berkarya sajalah. Kita tidak usah berdebat dalam tataran yang bersifat idealistic saja tapi menemukan sesuatu. Lewat program “Indonesia Belajarlah” saya akan melakukan beberapa hal. Pertama, kita akan menerbitkan news letter sebanyak 100 ribu eksemplar setiap bulan. Kita bagikan gratis hanya untuk menyerukan bahwa kita ini bangsa yang nggak belajar atau kita belajar juga namun too late, too little and too slow. Kita berharap ini bisa dibaca orang. Kedua, mencoba mengumpulkan orang untuk mendukung program “hibah buku” bagi berbagai eksperimentasi terutama bagi yang miskin dan gelandangan. Target saya setiap tahun kita hibahkan sebanyak 17 ribu buah buku. Saya nggak tahu bagaimana caranya tapi saya akan bicara dengan orang. Pasti akan ada yang mau membantu. Ketiga, membuat forum pembelajaran pemberdayaan keluarga. Ini juga bersifat sosial. Kita tidak boleh “menikmati” penganiayaan. (E. Dapa Loka)

Senin, 13 September 2010

Pulau Asu


sebuah sudut di pulau asu
Asu Island is one of the eight small islands which lies to the west of Nias Island, Indian Ocean. Uninhabited island about 22 families deserve to become one of the marine tourism destinations. You will not regret ever setting foot into this island. Besides the beauty of white sandy beaches, the island of Asu also become a new alternative that was secretly ogled by many professional surfers. No need to hesitate to come to this island. You will be greeted with the friendliness and simplicity of the society. Available lodging and restaurant with homestay style. There was also a star-class lodging. To reach this island from Gunungsitoli to Sirombu the time needed approximately 1.5 hours by car or motor bike. From Sirombu harbor to Asu Island takes one hour. Unfortunately, the lack of adequate supporting facilities such as boats, recreational facilities, shops, health centers become a serious challenge for those who like luxurious travel.

Pulau Asu adalah salah satu dari 8 pulau kecil yang terbentang di sebelah barat pulau Nias, Samudera Hindia. Pulau berpenghuni sekitar 22 KK ini patut untuk menjadi salah satu destinasi wisata bahari. Dijamin takkan nyesal pernah menjejakkan kaki ke pulau ini. Selain keindahan pantainya yang berpasir putih, pulau Asu juga menjadi alternatif baru yang diam-diam banyak dilirik oleh peselancar profesional. Tak perlu ragu untuk datang ke pulau ini. Anda akan disambut dengan keramahan dan kesahajaan masyarakatnya. Tersedia penginapan dan rumah makan ala homestay. Penginapan kelas bintang juga ada. Untuk mencapai pulau ini dibutuhkan waktu dari Gunungsitoli menuju Sirombu sekitar 1,5 jam. Dari pelabuhan Sirombu menuju Pulau Asu memakan waktu 1 jam. Sayangnya minimnya fasilitas pendukung yang memadai seperti kapal, sarana rekreasi, toko, balai kesehatan menjadi tantangan berat bagi anda yang suka pelesiran.