Kamis, 07 Februari 2013

KELENTINGAN DAN KETAHANAN PANGAN


Oleh: Aktivitas Sarumaha (Praktisi CMDRR CKS)



Apakah bencana dari waktu ke waktu semakin bertambah atau semakin berkurang? Apakah bencana belakangan ini semakin sering terjadi jika dibandingkan beberapa abad yang lalu? Adakah satu tempat di muka bumi ini yang steril dari fenomena bencana alam? Apakah perubahan iklim dan pemanasan global itu sungguh terjadi? Siapa yang paling rentan dengan peristiwa bencana dan perubahan iklim? Apakah masyarakat khususnya di pedesaan sungguh menyadari hal ini? Seberapa jauh masyarakat dari kelompok rentan/ marjinal siap dengan fenomena bencana? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang terus menyedot perhatian masyarakat global terutama para pegiat kebencanaan. Diskursus kritis tentang membangun kelentingan (resiliency) atau keberdayatahanan masyarakat terus digulirkan.

Ilustrasi kelentingan ini ibarat pegas atau per yang ditekan akan mengeper kembali. Atau bola pimpong yang dipukulkan ke lantai namun akan melenting kembali. Keberdayatahanan manusia terhadap bencana adalah satu proses mengadaptasikan dan memulihkan diri saat terjadi bencana. Salah satu elemen dalam keberdayatahanan masyarakat terhadap bencana adalah terciptanya ketahanan pangan masyarakat. Pangan menjadi satu komoditas yang sangat penting saat terjadi bencana. Oleh karena itu sangat penting mendorong masyarakat untuk membangun sistem ketahanan pangan baik di tingkat keluarga maupun secara kolektif di tingkat masyarakat.

Upaya membangun kebertahanan masyarakat dalam ketahanan pangan menjadi satu isu penting yang terus di kampanyekan oleh proyek CMDRR sejak dari awal hingga sekarang. Salah satu caranya dengan menghidupkan kembali kebiasaan masyarakat pedesaan untuk menyiapkan lumbung pangan di tiap rumah. Kebiasaan ini dalam konteks Nias dikenal dengan istilah “mangöhöna”. Secara harafiah istilah mangöhöna mungkin kurang lebih berarti mempersiapkan segala keperluan termasuk di dalamnya makanan, kayu bakar, pakan ternak, dll. Biasanya kebiasaan mangöhöna dilakukan pada hari sabtu atau menjelang hari-hari besar agama kristen karena ada pantangan agama untuk melakukan pekerjaan berat pada hari-hari tersebut.

Kebiasaan mangöhöna menjadi salah satu kearifan lokal untuk ketahanan pangan yang modelnya sangat relevan terhadap keberdayatahanan keluarga jika bencana sewaktu waktu terjadi. Kebiasaan mangöhöna kemungkinan besar masih dapat ditemukan dan dipraktikan oleh masyarakat pedesaan. Akan sangat menarik jika ada satu pengamatan mendalam menilik trend kebiasaan mangöhöna dari waktu ke waktu di masyarakat.

Kelompok perempuan di Desa Luahamoi mengelola demoplot pangan jagung

Model lain dari ketahanan pangan adalah terciptanya keberagaman pangan di masyarakat. Keberagaman pangan maksudnya adalah adanya pilihan-pilihan pangan lainnya selain pangan “mainstreaming”. Pangan mainstreaming adalah pangan yang bertumpu pada komoditas beras. Masih segar diingat saya, saat berkunjung ke desa-desa dampingan di Nias, ketika tuan rumah menyuguhkan makanan, pantang bagi mereka menyajikan makanan selain nasi bagi tamu mereka. Nasi dipandang sebagai jenis makanan prestisius. Sementara ubi, pisang, talas, sagu ataupun jagung masih cenderung dipandang sebagai pangan kelas dua. Cara pandang masyarakat dalam mengkotak-kotakkan pangan berpotensi menciptakan ketergantungan pada satu jenis pangan saja dan mendiskriminasikan pangan lainnya.

Diskriminasi pangan tidak hanya terjadi pada jenis pangan ubi, pisang, talas dan sagu tapi juga terjadi pada pangan dari sayur-sayuran. Sayur kol adalah jenis sayur primadona yang dipandang layak untuk diberikan kepada tamu. Saya kurang tahu sejak kapan jenis sayur kol menjadi sayur kelas satu di desa-desa di Nias namun yang pastinya di hampir banyak acara, sayur kol seolah menjadi sayur wajib. Sayur daun singkong, kangkung dan pakis adalah pilihan terakhir.

Kampanye keragaman pangan adalah hal penting untuk penyadaran masyarakat terhadap isu ketahanan pangan. Secara sederhana upaya ini terintegrasi dalam kegiatan pendampingan proyek CMDRR di komunitas dampingan melalui kegiatan latihan masak memasak yang diorganisir oleh kelompok perempuan. Dalam  latihan masak memasak tersebut, rasa percaya diri masyarakat dibangun untuk menggunakan jenis-jenis pangan lainnya dengan memvariasikan cara pengolahannya.

Semoga dengan mengembangkan sistem kesiagaan pangan melalui melalui lumbung pangan dan bibit serta kampanye keanakaragaman pangan, diharapkan berkontribusi besar dalam menciptakan ketahanan pangan untuk keberdayatahanan masyarakat terhadap bencana Ω



Let's create our own world through writing, cinematography, photos, etc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar