Selasa, 20 Oktober 2009

TANGGAP DARURAT BANJIR MADINA

SELASA, 20 OKTOBER 2009
Oleh Tim Tanggap Darurat Caritas Sibolga







Banjir Bandang Madina
15 September 2009 desa-desa di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara dilanda banjir bandang. Banjir ini sebenarnya merupakan banjir tahunan yang melanda daerah itu, tapi biasanya banjir tidak sampai membahayakan manusia dan pemukiman. Diduga kuat karena hutan dibabat oleh praktek illegal logging maka kali ini masyarakat yang menuai akibatnya berupa banjir bandang yang dahsyat yang mengakibatkan 2000-an penduduk mengungsi karena rumah dan desa mereka terendam banjir hingga ke atap rumah. Berita di media menyebutkan korban jiwa sejumlah 38 orang namun sumber informasi Tim Caritas Keuskupan Sibolga (CKS) bersama Paroki Padangsidimpuan menyebutkan 10 orang yang meninggal. Korban rata-rata anak kecil dan lansia.

Karena daerah ini merupakan wilayah pastoral Keuskupan Sibolga khususnya Paroki Padangsidimpuan maka Pihak Keuskupan dalam hal ini Caritas Keuskupan Sibolga (CKS) bekerja sama dengan Paroki Padangsidimpuan melakukan kegiatan tanggap darurat menolong korban banjir bandang tersebut. Kegiatan tanggap darurat ini mendapat dukungan yang kuat dari Karina KWI dan dijalankan oleh tim Tanggap Darurat terdiri dari 4 orang relawan dari Paroki Padangsidimpuan dan Katedral Sibolga yakni Hendra Manalu, Beatus Halawa, Mindo Manalu, Fr. Sokhi Laia yang dipimpin oleh Saudara Daniel Gunawan dari tim Pengurangan Resiko Bencana CKS. Tim Tanggap Darurat Madina difasilitasi oleh Pastor Paroki Padangsidimpuan, P. Pincerius, Pr bekerja selama 17 hari, sejak 27 September s/d 13 Oktober 2009.

Proses Tanggap Darurat
Kegiatan tanggap darurat diawali dengan asesmen cepat pada tanggal 29-30 September 2009 ke lokasi yang terkena banjir yakni Desa Huta Imbaru, Dusun Kapundung 1, Dusun Kapundung 2 dan Desa Ranto Panjang untuk mengidentifikasi kebutuhan real dan mendesak masyarakat korban banjir. Tim menemukan bahwa setelah 2 minggu pasca banjir, air sungai masih terlihat sangat keruh. Di sekitar sungai terlihat banyak kayu gelondongan yang diduga ikut terhanyut oleh arus banjir. Tebing sungai banyak yang longsor. Di keempat dusun tim berpencar mengunjungi masyarakat yang tinggal di pengungsian dan di rumah warga untuk mencari informasi.

Dari konsolidasi data asesmen cepat kebutuhan mendasar masyarakat pasca banjir 2 minggu adalah beras, minyak tanah, solar, alat tulis, katro, gerobak sorong, Alquran, jus amma, bensin, pakaian dalam perempuan, air bersih, selang, pakaian sekolah,sabun, peralatan balita, makanan balita dan sarung. Kemudian tim di bawah koordinasi Pastor Paroki Padangsidimpuan memutuskan untuk membeli barang-barang kebutuhan tersebut di Padangsidimpuan. Pengadaan barang-barang itu juga difasilitasi oleh umat Paroki Padangsidimpuan dengan memberikan fasilitas transportasi dan juga sumbangan barang. Setelah barang-barang bantuan terkumpul tim tanggap darurat dibantu oleh muda-mudi paroki memaketkan barang-barang tersebut untuk disalurkan per kepala keluarga. Proses pengadaan dan pemaketan barang berlangsung selama 3 hari di pastoran Paroki Sidimpuan.

Tanggal 9-10 Oktober tim berangkat ke lokasi bencana untuk mendistribusikan bantuan . Tim yang berangkat sejumlah 23 orang terdiri dari tim tanggap darurat dibantu relawan dari mudika Paroki Sidimpuan dan mahasiswa. Tanggal 11 Oktober tim telah kembali ke Sidimpuan, 12 Oktober diadakan acara malam kebersamaan dengan para relawan di mana Pastor Paroki Sidimpuan mengucapkan terima kasih atas bantuan para relawan untuk kegiatan tanggap darurat. Para relawan juga dimotivasi untuk menjadi kontak relawan di Paroki Padangsidimpuan yang siap bekerja bila terjadi bencana. Tim mendistribusikan bantuan kepada 1030 jiwa penduduk 4 desa yang terkena banjir bandang

Selain masyarakat korban banjir mendapat bantuan, ada sebuah hasil lain yang juga dicapai melalui kegiatan tanggap darurat ini yakni kini Paroki Sidimpuan mempunyai sejumlah relawan yang sudah berkomitmen siap membantu bila suatu saat terjadi bencana.


Tantangan dan Pembelajaran
Tantangan yang sangat berat dihadapi tim adalah medan yang sangat jauh, terpencil, dan rawan longsor. Dari Sidimpuan butuh waktu 15 jam untuk dapat mencapai lokasi banjir, 9 jam ditempuh dengan mobil dan 6 jam naik perahu. Biaya transportasi juga sangat mahal.

Tantangan lain, penduduk di keempat desa yang terkena banjir adalah 100% Muslim, pada awalnya Dandim ragu bahwa mereka akan menerima bantuan dari lembaga Kristen dan mengusulkan agar tim membawa seorang ustad. Namun tim tidak jadi membawa ustad dan berangkat dengan bermodalkan niat baik, dan ternyata tim diterima dengan hati terbuka oleh penduduk korban banjir. Bahkan kepada lembaga Kristen ini mereka meminta dibelikan Alquran.

Di lokasi banjir tim tidak leluasa untuk makan di rumah penduduk karena banyak isu racun, bahkan tokoh masyarakat dan penduduk setempat mencegah tim untuk makan sembarangan, mereka menganjurkan tim untuk makan dan minum hanya di rumah penduduk yang menerima mereka untuk menginap.

Sebuah pembelajaran penting yang didapat tim, berdasarkan observasi langsung dan kesaksian masyarakat, sangat diduga kuat bencana banjir bandang ini sesungguhnya bukan bencana murni tapi efek negatif dan fatal dari praktek illegal logging yang dilakukan 6 perusahaan kayu di daerah hulu. Jutaan kubik kayu di sepanjang sungai dan di perkampungan merupakan bukti tidak terbantahkan akan adanya praktek penebangan kayu yang sangat massif dan tidak memperhitungkan keselamatan lingkungan.







2 komentar:

  1. Beginilah akibatnya kalo manusia gak arif memanfaatkan alam. Ingat alam juga bisa murka. Ujung-ujungnya banyak orang tak bersalah terkena imbasnya :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar. Banyak bencana disebabkan oleh ketidak adilan manusia terhadap alam sekitar... :(

      Hapus