Aktivitas Sarumaha*
Jika menilik kembali ke belakang, konsep dan istilah pengurangan risiko bencana di Indonesia kembali sangat populer di kalangan praktisi pemberdayaan pasca gempa dan tsunami Aceh Desember 2004 yang kemudian disusul dengan gempa dahsyat Nias, Maret 2005. Sebagai sebuah inisiatif transisi dari masa emergensi dan rehabilitasi rekonstruksi, kemudian banyak lembaga kemanusiaan dan pemberdayaan sangat menggandrungi program pengurangan risiko bencana sebagai salah satu program primadona. Terdapat banyak jargon indah yang digaungkan dengan berbagai metode dan pendekatan yang semuanya mengarah pada satu tujuan yaitu membangun kebertahanan masyarakat terhadap bencana.
Ada beragam istilah yang digunakan untuk menamai program pengembangan masyarakat untuk membangun kebertahanan terhadap bencana antara lain manajemen risiko bencana berbasis masyarakat (community based disaster risk management), pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat (community based disaster risk reduction) dan pengurangan risiko bencana yang dimanajemeni masyarakat (community managed disaster risk reduction). Metode atau pendekatan program menjadi sebuah “dogma” atau “doktrin” yang tidak jarang menciptakan fanatisme di kalangan praktisi PRB. Tentu saja ada nilai-nilai mendasar atau ideologi di balik setiap pendekatan tersebut.
Bagaimana dengan Caritas Keuskupan Sibolga (CKS)? Seperti apakah kiblat program PRB yang dijalankan oleh CKS? Pertanyaan ini menjadi sebuah pergumulan panjang bagi CKS di awal-awal transisi dari masa rehabilitasi rekonstruksi pasca gempa Nias menuju fase pemberdayaan masyarakat. Sejalan dengan visi-misinya, pada bulan Agustus 2007, CKS mengawali tahap transisi tersebut dengan menjalankan program pembangunan kapasitas masyarakat mengurangi resiko bencana dengan nama Pengurangan Risiko Bencana yang Dimanajemeni Masyarakat (PRBDM/CMDRR).
Kerangka kerja PRBDM berangkat dari perubahan paradigma lama yang mengatakan bahwa bencana adalah “akibat perbuatan Tuhan” menuju paradigma baru bahwa bencana adalah “akibat perbuatan manusia”. Sejalan dengan perubahan perspektif ini, pendekatan juga ikut berubah dari pendekatan reaktif manajemen bencana menuju pendekatan lebih proaktif yakni pengurangan risiko bencana.
PRBDM merujuk kepada proses pengurangan risiko bencana yang berfokus pada pengurangan tingkat kerentanan masyarakat serta meningkatkan tingkat kapasitas mereka. Hal ini berhubungan dengan pelibatan masyarakat lokal dalam proses identifikasi, analisa, monitoring dan evaluasi risiko. PRBDM menempatkan masyarakat di jantung pengambilan keputusan dan pelaksanaan upaya-upaya pengurangan risiko bencana. PRBDM merupakan perpaduan dari dua pendekatan pemberdayaan yakni: upaya pengurangan kemiskinan (poverty reduction) & pengurangan resiko bencana (disaster risk reduction). Artinya kapasitas masyarakat untuk resilien atau lenting terhadap efek bencana dapat terbangun bila tingkat kesejahteraan masyarakat memadai atau meningkat.
CKS meyakini bahwa keunikan PRBDM terletak pada metode “Dimanajemeni Masyarakat” yakni menjadikan masyarakat lokal sebagai subjek yang melakukan kajian risiko, perencanaan aksi, pelaksaanaan aksi hingga proses reflektif atas aksi yang dikerjakan secara partisipatif. Bukan semata mata menjadikan masyarakat sebagai implementor atau kalau tidak dianggap berlebihan sebagai “buruh” atas program yang dijalankan oleh lembaga pendamping yang mungkin selama ini cenderung banyak terjadi di berbagai tempat. Dibutuhkan keberanian untuk meyakini bahwa masyarakat lokal punya kapasitas dan kearifan lokal untuk mengorganisir diri. Lembaga pendamping berperan sebagai mitra eksternal yang membantu proses pengorganisasian diri.
Proses pendampingan PRB di masyarakat dengan pendekatan “Dimanajemeni Masyarakat” diyakini CKS memberi ruang yang lebih luas bagi masyarakat lokal untuk lebih terorganisir dan berdaya. Dengan menjadikan masyarakat lokal sebagai “manajer” atas inisiatif PRB yang mereka rencanakan, diharapkan akan menjadi modal menuju kelentingan terhadap bencana.
Pengalaman menjalankan PRBDM di komunitas
Berbicara tentang pengalaman menjalankan program PRB di masyarakat tidak sekedar membicarakan isu manajemen bencana tapi juga menyentuh isu-isu yang berhubungan dengan pengurangan akar kerentanan sosial di masyarakat seperti masalah kesehatan, rendahnya sumber penghidupan masyarakat, keterisoliran dari pusat-pusat pelayanan publik, ketimpangan gender, rendahnya kualitas pendidikan hingga sistem pembangunan yang masih mengadopsi pendekatan top-down. CKS percaya masyarakat yang lenting terhadap bencana sangat sulit dicapai apabila PRB hanya ekslusif pada manajemen bencana tanpa menyentuh area pengurangan sumber-sumber kerentanan sosial.
Oleh karena itu dalam proses fasilitasi pembuatan rencana kerja organisasi masyarakat, CKS memfasilitasi ruang bagi masyarakat untuk merumuskan rencana aksi tersebut dalam 3 kategori tematic: manajemen bencana, pengurangan kerentanan dan pengembangan organisasi. Area manajemen bencana mencakup kegiatan prevensi bencana, mitigasi bencana dan kesiapan tanggap darurat (KTD). Sementara itu area pengurangan kerentanan masyarakat meliputi kegiatan yang memungkinkan masyarakat mengalami peningkatan kualitas hidup sehingga daya tahan untuk memulihkan diri dari efek terjadinya ancaman bencana (hazard) lebih tinggi. Kegiatan di bidang ini diidentifikasi & ditentukan sendiri oleh masyarakat berdasarkan kebutuhan setempat, berupa peningkatan pertanian, pendidikan kesehatan dasar, air dan sanitasi, peningkatan kapasitas perempuan, akses pada pelayanan publik (jalan, puskesmas, sekolah), dll. Area pengembangan organisasi mencakup kegiatan penguatan kapasitas para pengurus organisasi masyarakat, monitoring dan evaluasi partisipatif.
Kelentingan masyarakat juga akan sangat sulit dicapai apabila proses pelaksanaan rencana kerja masyarakat hanya mengandalkan pendampingan CKS. Dibutuhkan kolaborasi dengan berbagai stakeholder seperti pemerintah, LSM, paroki, lembaga keagamaan dan institusi relevan lainnya. Dukungan intersektoral antar divisi lainnya yang dimiliki CKS juga mutlak diperlukan seperti divisi kesehatan, livelihood, gender dan sosial. Wacana tentang dukungan intersektoral yang dulu menjadi kerinduan besar kini perlahan mulai menampakkan titik cerahnya.
Apakah kelentingan sudah tercapai?
Proses pendampingan CKS untuk program PRBDM di komunitas kurang lebih sudah berjalan 5 tahun sejak pilot proyek. Pendampingan dilakukan di 17 komunitas (14 komunitas di Nias dan 3 komunitas di Tapanuli) melalui kemitraan dengan 7 paroki. Ada banyak pembelajaran berharga yang diperoleh terutama dalam upaya fasilitasi masyarakat menuju kebertahanan terhadap bencana. Lantas pertanyaannya apakah selama 5 tahun tersebut kelentingan sudah bisa terlihat di komunitas dampingan? Ini adalah pertanyaan reflektif saat ini. Dulu di awal-awal pendampingan di komunitas, pertanyaan ini pernah menjadi pertanyaan kritis dalam forum diskusi bulanan tim PRBDM CKS. Apakah indikator atau bukti atau penanda yang dapat dijadikan barometer untuk mengukur kebertahanan masyarakat terhadap bencana?
Dalam beberapa referensi, secara umum kelentingan terhadap bencana didefinisikan sebagai kapasitas orang-orang, organisasi dan sistem untuk mencegah atau meminimalisir dampak negatif dari sebuah ancaman. Kelentingan juga dipahami sebagai kapasitas untuk segera memulihkan diri sendiri ke dalam kondisi normal pasca bencana. Komunitas yang resilient idealnya adalah komunitas yang selalu aktif melakukan analisa risiko, membuat rencana kontigensi jika terjadi bencana, melakukan respon tanggap darurat dengan cara yang tepat & efektif serta terus menerus melakukan refleksi atas dinamika yang terjadi.
Dengan definisi umum di atas, dapatkah CKS mengklaim bahwa ke 17 komunitas dampingan program PRBDM sudah lenting bencana? Tentu saja sangat sulit untuk menjawab langsung pertanyaan ini. Jawabannya bisa ya dan bisa tidak. Tergantung dari tingkat kedewasaan, konteks, situasi, pengalaman berhadapan dengan bencana serta dinamika yang terjadi di 17 komunitas tersebut. Yang pastinya kelentingan itu bukan sekedar tujuan akhir yang harus dicapai (one stop goal) tapi juga adalah proses yang terus menerus terjadi.
Setidaknya dalam proses pendampingan PRBDM di komunitas, CKS dengan paroki sebagai mitra utamanya bersama masyarakat lokal telah membangun dasar untuk menjalani proses pembangunan kelentingan terhadap bencana. Dasar-dasar tersebut di antaranya berupa adanya proses kajian risiko bencana partisipatif, adanya organisasi masyarakat yang konsern dengan upaya PRB, adanya rencana aksi kolektif untuk PRB, adanya kesadaran masyarakat tentang perlunya menyertakan pembangunan sistem kesiapan tanggap darurat dalam rencana aksi, tahu apa yang harus dilakukan saat terjadi darurat bencana, tahu kemana harus lari menyelamatkan diri, tahu siapa yang harus dihubungi saat terjadi bencana, adanya upaya untuk pengurangan kerentanan sosial ekonomi masyarakat serta adanya upaya pengembangan terus menerus organisasi masyarakat. Kiranya dasar yang sudah disusun ini, setapak demi setapak menjadi fondasi kuat yang diatasnya berdiri konstruksi sosial yang mandiri, solider dan berdaya tahan terhadap bencana. Semoga!
* Praktisi PRBDM Caritas Keuskupan Sibolga
Let's create our own world through writing, cinematography, photos, etc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar