Selasa, 25 September 2012

MEMBANGUN OPSI YANG LEBIH BAIK BAGI MASYARAKAT YANG TINGGAL DI DAERAH RAWAN BANJIR




Cerita dari Desa Sohoya, Nias
Oleh: Aktivitas Sarumaha, Praktisi PRB, Caritas Keuskupan Sibolga (CKS)


Edison (fasilitator pendamping di Sohoya)

Realita Banjir di Sohoya

Desa Sohoya adalah salah satu komunitas dampingan proyek DRR Caritas Keuskupan Sibolga yang berada di Kecamatan Bawalato, Kabupaten Nias. Pendampingan di komunitas ini telah dimulai sejak tahun 2009. Berdasarkan hasil Kajian Risiko Bencana Partisipatif (KRBP), masyarakat mengidentifikasi banjir sebagai ancaman yang sering mengganggu aktivitas masyarakat. Jumlah populasi desa sekitar 500 diantaranya 230 laki-laki dan 270 perempuan.

Sebelum gempa Nias Maret 2005, banjir biasanya terjadi hanya 1 kali dalam setahun. Itupun jika terjadi hujan dengan curah hujan tinggi. Dalam situasi banjir 1 kali dalam setahun, sebenarnya masyarakat sudah mempunyai mekanisme teratur bagaimana menyiasati banjir. Contohnya saja perihal menentukan kapan waktu turun ke sawah untuk menanam padi sehingga risiko gagal panen akibat banjir sudah jauh-jauh hari diantisipasi.
Banjir di desa Sohoya berasal dari luapan air Sungai Mola dan Sungai Sohoya. Sungai Mola memiliki panjang 18 Km (Nias in figure, 2008). Secara geografis, ada dua desa yang berada persis dipinggir sungai Mola yakni Desa Siefaewali (sebanyak 10 dusun) dan Desa Sohoya (3 dusun). Desa Sohoya adalah desa yang lebih merasakan dampak banjir.

Pasca Gempa 2005, banjir semakin sering terjadi. Berdasarkan penuturan warga, banjir dalam setahun bisa terjadi rata-rata 2-3 kali dengan ketinggian banjir sepinggang orang dewasa (laporan tahunan proyek DRR tahun 2010 dan 2011). Banjir setinggi mata kaki orang dewasa frekuensi terjadinya bisa di atas 5 kali diluar banjir besar. Masyarakat menyebutkan bahwa banjir semakin sering terjadi karena aliran Sungai Mola telah menyempit dan mendangkal. Gempa telah membuat tebing-tebing sungai longsor dan menimbun aliran sungai. Debris dari hulu sungai seperti patahan pohon dan lumpur juga membuat aliran sungai menjadi tidak lancar (hasil KRBP desa Sohoya tahun 2009).


Landscape Desa Sohoya di kala banjir


Kondisi di atas juga semakin diperparah oleh situasi iklim yang 10 tahun belakangan ini sulit diprediksi. Biasanya musim penghujan di pulau Nias berlangsung kisaran bulan September-November dengan puncak musim penghujan terjadi di bulan Oktober dengan jumlah hari hujan dapat mencapai 27 hari dalam sebulan (Data Statistik: Nias in Figure, 2008). Namun akibat perubahan iklim, musim hujan lebat dapat terjadi di sembarang bulan seperti kejadian banjir di Sohoya pada bulan Februari, Mei dan Oktober tahun 2010. 

Peristiwa banjir tentu saja mengganggu kenyaman dan keamanan masyarakat. Bagi anak-anak sekolah, banjir membuat mereka tidak bisa ke sekolah karena akses jalan terputus[1] ataupun karena rumah sekolah mereka terendam banjir. Bagi para petani, ancaman gagal panen terutama padi sawah selalu menghantui karena kondisi banjir yang semakin sulit diprediksi kedatangannya.

Kendati belum ada laporan terjadinya praktik illegal logging di hulu sungai Mola, menanam sebanyak mungkin pohon akan sangat membantu dalam mengurangi banjir walaupun dampaknya baru bisa dirasakan 10-15 tahun ke depan. Upaya lain yang harus dilakukan adalah melakukan normalisasi sungai Mola sebagai upaya mitigasi dampak banjir. Upaya normalisasi sungai sudah diusulkan kepada pihak pemerintah Kabupaten Nias. Berdasarkan informasi dari Sekretaris Desa Sohoya, usulan ini telah dimasukkan di dalam rencana APBD Kabupaten Nias tahun 2013.

Terlepas dari fakta-fakta di atas, ada  fakta lain yang menarik untuk disimak. Ini menyangkut ‘coping capacity’ masyarakat Sohoya untuk berjuang hidup dan beradapatasi di lingkungan yang sering dilanda banjir.


Bagaimana anak sekolah terkena dampak banjir

Pada tanggal 17 April 2012, saya bersama dengan seorang staf proyek berangkat menuju desa Sohoya. Sebelumnya dua orang anggota tim proyek lainnya sudah menunggu di lokasi. Saat itu kami berencana untuk melakukan sesi pendidikan dasar kesiapsiagaan PRB untuk anak-anak kelas 1-4 di SD Negeri Sohoya[2]. Selama perjalanan, mendung pekat menggelayut di atas cakrawala. Mendekati Desa Sohoya, jalan masih tampak becek, di beberapa titik, air masih menggenang akibat sisa-sisa banjir sepanjang hari sebelumnya.




[1] Belum ada jalan aspal, kondisi jalan setapak dan berlumpur

[2] SD ini baru definitif didirikan pada tahun 2010. Gedung sekolah belum permanen, dibangun  atas swadaya masyarakat di atas lahan yang dihibahkan oleh seorang warga. Jumlah ruangan ada 3 ruangan. Salah satu ruangan dipakai secara bersamaan oleh anak kelas 3 dan 4. Kondisi ruangan kelas sangat darurat, berlantaikan tanah, atap rumbia, dinding papan. Terdapat 1 perpustakaan yang baru dibangun oleh pemerintah. Lantai ruangan dibuat agak tinggi dan cukup aman dari banjir.




Salah satu ruang kelas SD Sohoya pasca banjir. 
Foto diambil saat kunjungan lapangan tanggal 17 April 2012


Setibanya di lokasi SD, genangan air setinggi mata kaki masih terlihat. Beberapa anak anak sekolah tampak sedang asik bermain di air banjir. Keceriaan mereka sepertinya tidak surut seperti baju seragam sekolah mereka yang lusuh dan kusam akibat cipratan genangan keruhnya air banjir. Hampir bisa dipastikan semua anak-anak sekolah tidak memakai alas kaki. Kuku kaki mereka tampak hitam dipenuhi tanah. Dari kejauhan , di teras sekolah tampak 3 orang guru tidak tetap (GTT) diantaranya 2 perempuan dan 1 laki-laki sedang duduk di bangku mengawasi anak-anak yang sedang bermain di halaman sambil sesekali mereka bercengkrama. Entah apalah yang mereka perbincangkan tapi sepertinya raut wajah mereka mengisyaratkan kalau mereka sedang membicarakan hal serius, mungkin saja menyangkut keprihatinan mereka terhadap anak-anak sekolah yang tidak bisa belajar hari itu.

Beberapa kali saya terpeleset saat hendak memasuki teras sekolah akibat tanah yang saya pijak licin dan becek. “Hati-hati pak, ada parit”, tiba-tiba seorang anak kecil mengingatkan saya. Ternyata anak ini sedari tadi mengikuti saya dari belakang. Hampir saja saya terjerembab dalam parit yang tidak kelihatan karena tertutup genangan banjir.

Di ruang kelas, beberapa anak-anak sedang duduk sambil bercerita dengan teman-teman sebayanya. Beberapa anak ada yang belajar berhitung dan beberapa lainnya hanya duduk diam dan termangu sambil menunggu instruksi dari bapak atau ibu guru. Anak-anak itu sepertinya tidak begitu menghiraukan dinginnya lantai tanah ruangan kelas mereka.

Sesampainya di teras sekolah, kami menyapa dan berkenalan dengan para guru. Dari perkenalan dengan mereka, diketahui bahwa 2 orang guru berasal dari desa tetangga, sementara 1 orang lagi berasal dari Desa Sohoya. Di sekolah itu hanya Kepala Sekolah yang berstatuskan pegawai negeri. Selebihnya hanyalah guru honorer yang mendapatkan upah rapelan per semester yang bersumber dari 20 % dana Biaya Operasioanl Sekolah (BOS)

“Beginilah pak situasi di SD Sohoya”, kata seorang bapak guru kepada kami. “Untung saja buaya tidak naik ke desa”, katanya sambil berseloroh. Kendati si bapak guru hanya bercanda, namun saya sempat merasa khawatir karena memang berdasarkan cerita dari penduduk, Sungai Mola ada buayanya. Katanya pernah ada kejadian seorang ibu hampir diserang buaya saat sedang mandi di sungai. Saya bergumam dalam hati, anak-anak sekolah ini selain beresiko terkena penyakit menular dari air banjir, mereka juga beresiko di serang binatang-binatang buas dan berbisa yang terbawa oleh banjir. Sungguh perjuangan berat bagi mereka untuk menimba ilmu dalam keterbatasan sarana.

Tiba-tiba perhatian saya tertuju kepada seorang ibu guru yang sedang meneriaki para murid untuk tidak main air. Si ibu guru bernama Ina Seli. Dia adalah guru honorer yang sehari-hari tinggal di Desa Sohoya dan tahu persis situasi desa tersebut di kala banjir. Saya bertanya kepadanya, bagaimana dampak banjir terhadap anak-anak sekolah. Dia mengatakan bahwa yang pastinya kegiatan belajar mengajar di sekolah menjadi terganggu. Biasanya kalau banjir, sekolah secara otomatis diliburkan karena anak-anak tidak bisa ke sekolah karena terhalang banjir. Dia mengatakan bahwa harusnya hari itu, anak-anak tidak datang ke sekolah, namun karena sudah diingatkan seminggu sebelumnya bahwa di sekolah mereka akan ada pendidikan dasar kesiapsiagaan PRB, beberapa dari mereka memaksakan diri untuk datang. Selain itu air banjir juga sudah mulai surut dari tadi pagi. Biasanya ada 93 orang anak SD, namun yang datang hanya 37 orang anak.

Selanjutnya saya bertanya, apakah anak-anak menderita penyakit tertentu setelah banjir? Ina Seli mengatakan bahwa berdasarkan pengalamannya, penyakit perut dan penyakit kulit seperti gatal-gatal dan kutu air adalah penyakit yang sering dialami oleh anak-anak sekolah pasca banjir. Kemudian saya bertanya kepadanya apa obat-obatan yang dipakai untuk menyembuhkan penyakit mereka. Dia mengatakan bahwa penyakit kutu air dan gatal-gatal sembuh sendiri tanpa diobati, sementara penyakit perut kepada yang menderita diberikan ramu-ramuan tradisional dari daun-daun tertentu jika penyakit perut tersebut berkepanjangan.

Sesungguhnya saya berpikir, anak-anak ini jauh lebih immune dibandingkan dengan saya yang sudah mulai merasakan rasa gatal di sela-sela jari kaki akibat terendam air banjir. Mereka jauh lebih tegar, kuat dan berdaya tahan dibandingkan saya yang setiap saat berjibaku dengan slogan ’mari membangun masyarakat yang resilient bencana’. Jauh sebelum orang-orang seperti saya datang ke desa ini, anak-anak ini telah mendefinisikan sendiri dalam alam bawah sadarnya arti berdayatahanan itu seperti apa? Sebuah pertanyaan kritis terbersit dalam benak saya, apakah anak-anak ini menjadi lebih kebal karena alam telah menempa kekebalan mereka atau apakah karena tidak adanya opsi-opsi lain yang lebih baik bagi kehidupan dan penghidupan mereka sehingga memaksa mereka untuk beradaptasi dengan situasi keras demikian?

Di akhir diskusi, Ina Seli berharap, pembangunan gedung sekolah permanen dapat segera direalisasikan oleh pemerintah agar anak-anak sekolah dapat dengan nyaman menimba ilmu.


 
Bagaimana Masyarakat Sohoya Bertahan Terhadap Banjir


Rumah panggung di Desa Sohoya


Sepulang dari kegiatan penyuluhan kesiapsiagaan PRB di sekolah, saya dan tim menuju rumah Bapak Ama Wima. Ama Wima adalah Sekretaris Desa Sohoya yang juga berfungsi sebagai ketua organisasi masyarakat untuk PRB di desanya. Dalam perjalanan menuju rumah Ama Wima, saya berdiskusi dengan Edison, yang adalah fasilitator baru yang mendampingi dan tinggal di desa tersebut. Saya bertanya kepadanya, sudah berapa kali mengalami banjir setelah satu bulan lebih berada di Sohoya. Katanya selama ini sudah tiga kali terjadi banjir. Menurutnya karakteristik banjir adalah tidak berarus deras di dataran, tapi menggenang dan semakin meningkat seiring meluapnya Sungai Mola dan Sohoya.

Biasanya, masyarakat sudah punya mekanisme sendiri untuk antisipasi banjir. Jika hujan di hulu, kerabat atau kenalan mereka yang ada di hulu sungai akan mengirimkan sms peringatan dini kepada masyarakat di Sohoya. Praktik seperti ini sebenarnya baru dilakukan sekitar bulan November tahun 2011 ketika Sohoya dilanda banjir besar. Ama Mare adalah kerabat Ama Wiman yang tinggal di Desa Hiliwarokha di sekitar hulu sungai. Informasi peringatan dini melalui sms sangat membantu warga dalam mempersiapkan diri. Sekitar 75 % anggota masyarakat Desa Sohoya memiliki handphone sehingga pendistribusi informasi peringatan dapat dilakukan dengan cepat.

Selain itu warna hitam pekat di hulu sungai dan perubahan di arus sungai menjadi penanda lain bagi masyarakat jika di hulu sudah terjadi banjir. Walaupun demikian masyarakat tidak lantas panik dan khawatir. Mereka bahkan sudah punya mekanisme tersendiri apa yang harus dilakukan dan kapan itu harus dikerjakan. Jika air luapan sungai masih setinggi mata kaki, mereka masih santai dan tidak khawatir. Bahkan dalam video yang sempat diambil Edison saat banjir, tampak anak-anak sedang asik bermain di genangan air yang persis terletak di pinggir sungai.

Ketika air semakin meninggi (setinggi betis orang dewasa), mereka mulai memindahkan barang-barang berharga ke atas loteng rumah. Seperti kasur, peralatan makan dan dapur, dokumen-dokumen berharga dan peralatan elektronik.



Dapur yang ditinggikan masih memungkinkan warga untuk memasak 
walaupun banjir setinggi pinggang orang dewasa


Loteng tempat evakuasi sementara saat banjir. 
Beberapa rumah memiliki loteng seperti pada gambar di atas.

 
Ketika air  setinggi pinggang orang dewasa, masyarakat mulai melakukan evakuasi vertikal di lantai 2 atau loteng. Anak-anak kecil dan manula diprioritaskan naik ke loteng. Kegiatan dapur dilakukan di loteng dengan menggunakan kompor minyak tanah. Para laki-laki dewasa berjaga-jaga di bawah sambil berkordinasi dengan pihak luar termasuk pemerintah dan CKS.


Model ranjang berkaki tinggi di rumah Ama Wilma Bu’ulolo

 
Untuk bertahan hidup selama beberapa hari, biasanya masyarakat menggunakan stok beras harian yang masih tersisa. Bagi yang tidak punya stok beras, yang punya akan meminjamkannya kepada yang tidak punya (seperti pada kejadian banjir pada Desember 2011 yang berlangsung selama 3 hari berturut-turut). Keperluan air diambil dari tampungan air hujan dengan ember atau baskom langsung dari atap rumah atau mengambilnya dari bak-bak penampungan yang ada[3].


[3] Beberapa bak sudah dibangun oleh pemerintah di beberapa titik cluster. Bak yang dibangun mengandalkan panen air hujan


Bak penampungan air hujan yang memasok persediaan air warga baik
saat banjir maupun pada saat normal.


Model rumah warga beberapa ada yang berbentuk rumah berkaki setinggi 0,5- 1 m, namun sebagian besar rumahnya memiliki lantai yang langsung menyatu di atas permukaan tanah. Pada rumah jenis ini, beberapa rumah memiliki dapur yang tingginya 1 meter, sehingga saat banjir dapur masih bisa digunakan untuk dapur umum masyarakat. Tempat-tempat tidur memiliki kaki yang panjang-panjang sekitar 1 meter. 


Kandang babi yang ditinggikan


Untuk menyelamatkan ternak seperti babi, beberapa kandang milik warga sudah dibuat tinggi. Dalam situasi banjir yang semakin tinggi, kandang babi dibuka dan ternak babi dilepas begitu saja untuk mencari tempat tinggi yang aman dari air. Jika ternaknya masih kecil-kecil biasanya ternak tersebut dibawa ke rumah dan di tempatkan di tempat yang agak tinggi. Setelah banjir surut, ternak-ternak yang dilepaskan sebelumnya akan kembali dengan sendirinya kepada pemiliknya. 


Jamban yang ditinggikan milik Ama Teti Halawa

Kebiasaan kakus berjalan masih banyak ditemui di desa-desa di Nias termasuk di Desa Sohoya. Pada saat banjir, penyebaran kuman penyakit dari kotoran manusia yang dibuang sembarangan di air banjir menjadi berlipat ganda. Walaupun demikian selama ini belum pernah ada laporan kasus serius penyakit yang diderita masyarakat pasca banjir. Ada 1 praktek baik dari salah satu keluarga. Keluarga tersebut melengkapi rumahnya dengan dengan kakus yang dibuat tinggi dari permukaan tanah. Saat banjir, kakus masih dapat digunakan karena tidak terendam air. Pembuangan limbah disalurkan pada septi tank. Model kakus seperti ini sangat cocok terutama di wilayah rawan banjir sehingga limbah pembuangan tidak semakin mencemari air banjir.


Opsi Yang Lebih Baik Kebertahanan Sohoya Terhadap Banjir

Kondisi yang dihadapi Desa Sohoya cukup kompleks, akses jalan yang belum memadai, fasilitas sekolah yang minim, sarana kesehatan yang belum tersedia hingga rentannya desa ini terhadap ancaman banjir. Berdasarkan diskusi dengan beberapa anggota masyarakat termasuk dengan Sekretaris Desa Sohoya, angka kematian balita dalam 10 tahun terakhir sekitar 15 orang. Penyebab kematian umumnya deman, batuk, diare dan mencret. Sementara itu angka keguguran ibu hamil terdapat 30 kasus dan Angka kematian ibu saat melahirkan sekitar 15 kasus. 

Untuk upaya PRB dan kesiapsiagaan, normalisasi sungai Mola adalah hal penting yang harus segera dikerjakan serta perbaikan drainase desa. Upaya vegetasi dengan penanaman pohon-pohon pelindung dapat sekalian dilakukan. Perlu membuat beberapa evacuation shelter dalam bentuk rumah panggung yang dapat menampung kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil dan manula jika ketinggian banjir semakin naik. Sebagai catatan desa ini berada pada tanah datar, dimana daerah dataran tinggi berada sekitar 8 km dari Sohoya. Pada situasi normal tempat evacuation shelter dapat difungsikan sebagai tempat sekolah, puskesmas pembantu atau balai desa. Di evacuation shelter, perlu dilengkapi peralatan dan perlengkapan emerjensi seperti lumbung emerjensi, dapur emerjensi, kakus emerjensi. Semoga opsi-opsi yang lebih baik untuk membangun kebertahanan masyarakat Sohoya dapat terwujud dan mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.



Let's create our own world through writing, cinematography, photos, etc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar