Cerita dari Desa Sohoya,
Nias
Oleh: Aktivitas Sarumaha, Praktisi
PRB, Caritas Keuskupan Sibolga (CKS)
Edison (fasilitator pendamping di Sohoya) |
Realita Banjir di Sohoya
Desa
Sohoya adalah salah satu komunitas dampingan proyek DRR Caritas Keuskupan
Sibolga yang berada di Kecamatan Bawalato, Kabupaten Nias. Pendampingan di
komunitas ini telah dimulai sejak tahun 2009. Berdasarkan hasil Kajian Risiko
Bencana Partisipatif (KRBP), masyarakat mengidentifikasi banjir sebagai ancaman
yang sering mengganggu aktivitas masyarakat. Jumlah populasi desa sekitar 500
diantaranya 230 laki-laki dan 270 perempuan.
Sebelum gempa Nias Maret 2005, banjir biasanya terjadi hanya 1 kali dalam setahun. Itupun jika terjadi hujan dengan curah hujan tinggi. Dalam situasi banjir 1 kali dalam setahun, sebenarnya masyarakat sudah mempunyai mekanisme teratur bagaimana menyiasati banjir. Contohnya saja perihal menentukan kapan waktu turun ke sawah untuk menanam padi sehingga risiko gagal panen akibat banjir sudah jauh-jauh hari diantisipasi.
Sebelum gempa Nias Maret 2005, banjir biasanya terjadi hanya 1 kali dalam setahun. Itupun jika terjadi hujan dengan curah hujan tinggi. Dalam situasi banjir 1 kali dalam setahun, sebenarnya masyarakat sudah mempunyai mekanisme teratur bagaimana menyiasati banjir. Contohnya saja perihal menentukan kapan waktu turun ke sawah untuk menanam padi sehingga risiko gagal panen akibat banjir sudah jauh-jauh hari diantisipasi.
Banjir
di desa Sohoya berasal dari luapan air Sungai Mola dan Sungai Sohoya. Sungai
Mola memiliki panjang 18 Km (Nias in figure, 2008). Secara geografis, ada dua
desa yang berada persis dipinggir sungai Mola yakni Desa Siefaewali (sebanyak
10 dusun) dan Desa Sohoya (3 dusun). Desa Sohoya adalah desa yang lebih
merasakan dampak banjir.
Pasca Gempa 2005, banjir semakin sering terjadi. Berdasarkan penuturan warga, banjir dalam setahun bisa terjadi rata-rata 2-3 kali dengan ketinggian banjir sepinggang orang dewasa (laporan tahunan proyek DRR tahun 2010 dan 2011). Banjir setinggi mata kaki orang dewasa frekuensi terjadinya bisa di atas 5 kali diluar banjir besar. Masyarakat menyebutkan bahwa banjir semakin sering terjadi karena aliran Sungai Mola telah menyempit dan mendangkal. Gempa telah membuat tebing-tebing sungai longsor dan menimbun aliran sungai. Debris dari hulu sungai seperti patahan pohon dan lumpur juga membuat aliran sungai menjadi tidak lancar (hasil KRBP desa Sohoya tahun 2009).
Pasca Gempa 2005, banjir semakin sering terjadi. Berdasarkan penuturan warga, banjir dalam setahun bisa terjadi rata-rata 2-3 kali dengan ketinggian banjir sepinggang orang dewasa (laporan tahunan proyek DRR tahun 2010 dan 2011). Banjir setinggi mata kaki orang dewasa frekuensi terjadinya bisa di atas 5 kali diluar banjir besar. Masyarakat menyebutkan bahwa banjir semakin sering terjadi karena aliran Sungai Mola telah menyempit dan mendangkal. Gempa telah membuat tebing-tebing sungai longsor dan menimbun aliran sungai. Debris dari hulu sungai seperti patahan pohon dan lumpur juga membuat aliran sungai menjadi tidak lancar (hasil KRBP desa Sohoya tahun 2009).
Landscape Desa Sohoya di kala banjir
|
Kondisi
di atas juga semakin diperparah oleh situasi iklim yang 10 tahun belakangan ini
sulit diprediksi. Biasanya musim penghujan di pulau Nias berlangsung kisaran
bulan September-November dengan puncak musim penghujan terjadi di bulan Oktober
dengan jumlah hari hujan dapat mencapai 27 hari dalam sebulan (Data Statistik:
Nias in Figure, 2008). Namun akibat perubahan iklim, musim hujan lebat dapat
terjadi di sembarang bulan seperti kejadian banjir di Sohoya pada bulan
Februari, Mei dan Oktober tahun 2010.
Peristiwa
banjir tentu saja mengganggu kenyaman dan keamanan masyarakat. Bagi anak-anak sekolah,
banjir membuat mereka tidak bisa ke sekolah karena akses jalan terputus[1] ataupun karena rumah
sekolah mereka terendam banjir. Bagi para petani, ancaman gagal panen terutama
padi sawah selalu menghantui karena kondisi banjir yang semakin sulit diprediksi
kedatangannya.
Kendati
belum ada laporan terjadinya praktik illegal logging di hulu sungai Mola,
menanam sebanyak mungkin pohon akan sangat membantu dalam mengurangi banjir
walaupun dampaknya baru bisa dirasakan 10-15 tahun ke depan. Upaya lain yang
harus dilakukan adalah melakukan normalisasi sungai Mola sebagai upaya mitigasi
dampak banjir. Upaya normalisasi sungai sudah diusulkan kepada pihak pemerintah
Kabupaten Nias. Berdasarkan informasi dari Sekretaris Desa Sohoya, usulan ini
telah dimasukkan di dalam rencana APBD Kabupaten Nias tahun 2013.
Terlepas
dari fakta-fakta di atas, ada fakta lain
yang menarik untuk disimak. Ini menyangkut ‘coping
capacity’ masyarakat Sohoya untuk berjuang
hidup dan beradapatasi di lingkungan yang sering dilanda banjir.
Bagaimana anak sekolah
terkena dampak banjir
Pada
tanggal 17 April 2012, saya bersama dengan seorang staf proyek berangkat menuju
desa Sohoya. Sebelumnya dua orang anggota tim proyek lainnya sudah menunggu di
lokasi. Saat itu kami berencana untuk melakukan sesi pendidikan dasar
kesiapsiagaan PRB untuk anak-anak kelas 1-4 di SD Negeri Sohoya[2]. Selama perjalanan,
mendung pekat menggelayut di atas cakrawala. Mendekati Desa Sohoya, jalan masih
tampak becek, di beberapa titik, air masih menggenang akibat sisa-sisa banjir sepanjang
hari sebelumnya.
[1] Belum
ada jalan aspal, kondisi jalan setapak dan berlumpur
[2] SD ini
baru definitif didirikan pada tahun 2010. Gedung sekolah belum permanen,
dibangun atas swadaya masyarakat di atas
lahan yang dihibahkan oleh seorang warga. Jumlah ruangan ada 3 ruangan. Salah
satu ruangan dipakai secara bersamaan oleh anak kelas 3 dan 4. Kondisi ruangan
kelas sangat darurat, berlantaikan tanah, atap rumbia, dinding papan. Terdapat
1 perpustakaan yang baru dibangun oleh pemerintah. Lantai ruangan dibuat agak
tinggi dan cukup aman dari banjir.
Salah satu ruang kelas SD Sohoya pasca banjir.
Foto diambil saat
kunjungan lapangan tanggal 17 April 2012
|
Setibanya di lokasi
SD, genangan air setinggi mata kaki masih terlihat. Beberapa anak anak sekolah
tampak sedang asik bermain di air banjir. Keceriaan mereka sepertinya tidak
surut seperti baju seragam sekolah mereka yang lusuh dan kusam akibat cipratan
genangan keruhnya air banjir. Hampir bisa dipastikan semua anak-anak sekolah
tidak memakai alas kaki. Kuku kaki mereka tampak hitam dipenuhi tanah. Dari
kejauhan , di teras sekolah tampak 3 orang guru tidak tetap (GTT) diantaranya 2
perempuan dan 1 laki-laki sedang duduk di bangku mengawasi anak-anak yang
sedang bermain di halaman sambil sesekali mereka bercengkrama. Entah apalah
yang mereka perbincangkan tapi sepertinya raut wajah mereka mengisyaratkan
kalau mereka sedang membicarakan hal serius, mungkin saja menyangkut
keprihatinan mereka terhadap anak-anak sekolah yang tidak bisa belajar hari
itu.
Beberapa
kali saya terpeleset saat hendak memasuki teras sekolah akibat tanah yang saya
pijak licin dan becek. “Hati-hati pak, ada parit”, tiba-tiba seorang anak kecil
mengingatkan saya. Ternyata anak ini sedari tadi mengikuti saya dari belakang.
Hampir saja saya terjerembab dalam parit yang tidak kelihatan karena tertutup
genangan banjir.
Di
ruang kelas, beberapa anak-anak sedang duduk sambil bercerita dengan teman-teman
sebayanya. Beberapa anak ada yang belajar berhitung dan beberapa lainnya hanya
duduk diam dan termangu sambil menunggu instruksi dari bapak atau ibu guru.
Anak-anak itu sepertinya tidak begitu menghiraukan dinginnya lantai tanah
ruangan kelas mereka.
Sesampainya
di teras sekolah, kami menyapa dan berkenalan dengan para guru. Dari perkenalan
dengan mereka, diketahui bahwa 2 orang guru berasal dari desa tetangga,
sementara 1 orang lagi berasal dari Desa Sohoya. Di sekolah itu hanya Kepala
Sekolah yang berstatuskan pegawai negeri. Selebihnya hanyalah guru honorer yang
mendapatkan upah rapelan per semester yang bersumber dari 20 % dana Biaya
Operasioanl Sekolah (BOS)
“Beginilah
pak situasi di SD Sohoya”, kata seorang bapak guru kepada kami. “Untung saja
buaya tidak naik ke desa”, katanya sambil berseloroh. Kendati si bapak guru
hanya bercanda, namun saya sempat merasa khawatir karena memang berdasarkan
cerita dari penduduk, Sungai Mola ada buayanya. Katanya pernah ada kejadian
seorang ibu hampir diserang buaya saat sedang mandi di sungai. Saya bergumam
dalam hati, anak-anak sekolah ini selain beresiko terkena penyakit menular dari
air banjir, mereka juga beresiko di serang binatang-binatang buas dan berbisa
yang terbawa oleh banjir. Sungguh perjuangan berat bagi mereka untuk menimba
ilmu dalam keterbatasan sarana.
Tiba-tiba
perhatian saya tertuju kepada seorang ibu guru yang sedang meneriaki para murid
untuk tidak main air. Si ibu guru bernama Ina Seli. Dia adalah guru honorer
yang sehari-hari tinggal di Desa Sohoya dan tahu persis situasi desa tersebut
di kala banjir. Saya bertanya kepadanya, bagaimana dampak banjir terhadap anak-anak
sekolah. Dia mengatakan bahwa yang pastinya kegiatan belajar mengajar di
sekolah menjadi terganggu. Biasanya kalau banjir, sekolah secara otomatis
diliburkan karena anak-anak tidak bisa ke sekolah karena terhalang banjir. Dia
mengatakan bahwa harusnya hari itu, anak-anak tidak datang ke sekolah, namun
karena sudah diingatkan seminggu sebelumnya bahwa di sekolah mereka akan ada
pendidikan dasar kesiapsiagaan PRB, beberapa dari mereka memaksakan diri untuk
datang. Selain itu air banjir juga sudah mulai surut dari tadi pagi. Biasanya
ada 93 orang anak SD, namun yang datang hanya 37 orang anak.
Selanjutnya
saya bertanya, apakah anak-anak menderita penyakit tertentu setelah banjir? Ina
Seli mengatakan bahwa berdasarkan pengalamannya, penyakit perut dan penyakit
kulit seperti gatal-gatal dan kutu air adalah penyakit yang sering dialami oleh
anak-anak sekolah pasca banjir. Kemudian saya bertanya kepadanya apa
obat-obatan yang dipakai untuk menyembuhkan penyakit mereka. Dia mengatakan
bahwa penyakit kutu air dan gatal-gatal sembuh sendiri tanpa diobati, sementara
penyakit perut kepada yang menderita diberikan ramu-ramuan tradisional dari
daun-daun tertentu jika penyakit perut tersebut berkepanjangan.
Sesungguhnya
saya berpikir, anak-anak ini jauh lebih immune
dibandingkan dengan saya yang sudah mulai merasakan rasa gatal di sela-sela
jari kaki akibat terendam air banjir. Mereka jauh lebih tegar, kuat dan berdaya
tahan dibandingkan saya yang setiap saat berjibaku dengan slogan ’mari membangun masyarakat yang resilient
bencana’. Jauh sebelum orang-orang seperti saya datang ke desa ini,
anak-anak ini telah mendefinisikan sendiri dalam alam bawah sadarnya arti
berdayatahanan itu seperti apa? Sebuah pertanyaan kritis terbersit dalam benak
saya, apakah anak-anak ini menjadi lebih kebal karena alam telah menempa
kekebalan mereka atau apakah karena tidak adanya opsi-opsi lain yang lebih baik
bagi kehidupan dan penghidupan mereka sehingga memaksa mereka untuk beradaptasi
dengan situasi keras demikian?
Di
akhir diskusi, Ina Seli berharap, pembangunan gedung sekolah permanen dapat
segera direalisasikan oleh pemerintah agar anak-anak sekolah dapat dengan
nyaman menimba ilmu.
Bagaimana
Masyarakat Sohoya Bertahan Terhadap Banjir
Rumah panggung di Desa Sohoya
|
Sepulang
dari kegiatan penyuluhan kesiapsiagaan PRB di sekolah, saya dan tim menuju
rumah Bapak Ama Wima. Ama Wima adalah Sekretaris Desa Sohoya yang juga
berfungsi sebagai ketua organisasi masyarakat untuk PRB di desanya. Dalam
perjalanan menuju rumah Ama Wima, saya berdiskusi dengan Edison, yang adalah
fasilitator baru yang mendampingi dan tinggal di desa tersebut. Saya bertanya
kepadanya, sudah berapa kali mengalami banjir setelah satu bulan lebih berada
di Sohoya. Katanya selama ini sudah tiga kali terjadi banjir. Menurutnya
karakteristik banjir adalah tidak berarus deras di dataran, tapi menggenang dan
semakin meningkat seiring meluapnya Sungai Mola dan Sohoya.
Biasanya,
masyarakat sudah punya mekanisme sendiri untuk antisipasi banjir. Jika hujan di
hulu, kerabat atau kenalan mereka yang ada di hulu sungai akan mengirimkan sms
peringatan dini kepada masyarakat di Sohoya. Praktik seperti ini sebenarnya
baru dilakukan sekitar bulan November tahun 2011 ketika Sohoya dilanda banjir
besar. Ama Mare adalah kerabat Ama Wiman yang tinggal di Desa Hiliwarokha di
sekitar hulu sungai. Informasi peringatan dini melalui sms sangat membantu
warga dalam mempersiapkan diri. Sekitar 75 % anggota masyarakat Desa Sohoya
memiliki handphone sehingga pendistribusi informasi peringatan dapat dilakukan
dengan cepat.
Selain
itu warna hitam pekat di hulu sungai dan perubahan di arus sungai menjadi
penanda lain bagi masyarakat jika di hulu sudah terjadi banjir. Walaupun demikian
masyarakat tidak lantas panik dan khawatir. Mereka bahkan sudah punya mekanisme
tersendiri apa yang harus dilakukan dan kapan itu harus dikerjakan. Jika air
luapan sungai masih setinggi mata kaki, mereka masih santai dan tidak khawatir.
Bahkan dalam video yang sempat diambil Edison saat banjir, tampak anak-anak
sedang asik bermain di genangan air yang persis terletak di pinggir sungai.
Ketika
air semakin meninggi (setinggi betis orang dewasa), mereka mulai memindahkan
barang-barang berharga ke atas loteng rumah. Seperti kasur, peralatan makan dan
dapur, dokumen-dokumen berharga dan peralatan elektronik.
Dapur yang ditinggikan
masih memungkinkan warga untuk memasak
walaupun banjir setinggi pinggang orang
dewasa
|
Loteng tempat evakuasi sementara saat banjir.
Beberapa rumah memiliki
loteng seperti pada gambar di atas.
|
Ketika
air setinggi pinggang orang dewasa,
masyarakat mulai melakukan evakuasi vertikal di lantai 2 atau loteng. Anak-anak
kecil dan manula diprioritaskan naik ke loteng. Kegiatan dapur dilakukan di
loteng dengan menggunakan kompor minyak tanah. Para laki-laki dewasa
berjaga-jaga di bawah sambil berkordinasi dengan pihak luar termasuk pemerintah
dan CKS.
Model ranjang berkaki tinggi di rumah
Ama Wilma Bu’ulolo
|
Untuk
bertahan hidup selama beberapa hari, biasanya masyarakat menggunakan stok beras
harian yang masih tersisa. Bagi yang tidak punya stok beras, yang punya akan
meminjamkannya kepada yang tidak punya (seperti pada kejadian banjir pada
Desember 2011 yang berlangsung selama 3 hari berturut-turut). Keperluan air diambil
dari tampungan air hujan dengan ember atau baskom langsung dari atap rumah atau
mengambilnya dari bak-bak penampungan yang ada[3].
[3] Beberapa
bak sudah dibangun oleh pemerintah di beberapa titik cluster. Bak yang dibangun
mengandalkan panen air hujan
Bak penampungan air hujan yang memasok persediaan air
warga baik
saat banjir maupun pada saat normal.
|
Model
rumah warga beberapa ada yang berbentuk rumah berkaki setinggi 0,5- 1 m, namun
sebagian besar rumahnya memiliki lantai yang langsung menyatu di atas permukaan
tanah. Pada rumah jenis ini, beberapa rumah memiliki dapur yang tingginya 1
meter, sehingga saat banjir dapur masih bisa digunakan untuk dapur umum
masyarakat. Tempat-tempat tidur memiliki kaki yang panjang-panjang sekitar 1
meter.
Kandang
babi yang ditinggikan
|
Untuk
menyelamatkan ternak seperti babi, beberapa kandang milik warga sudah dibuat
tinggi. Dalam situasi banjir yang semakin tinggi, kandang babi dibuka dan
ternak babi dilepas begitu saja untuk mencari tempat tinggi yang aman dari air.
Jika ternaknya masih kecil-kecil biasanya ternak tersebut dibawa ke rumah dan
di tempatkan di tempat yang agak tinggi. Setelah banjir surut, ternak-ternak
yang dilepaskan sebelumnya akan kembali dengan sendirinya kepada pemiliknya.
Jamban yang ditinggikan milik Ama
Teti Halawa
|
Kebiasaan
kakus berjalan masih banyak ditemui di desa-desa di Nias termasuk di Desa
Sohoya. Pada saat banjir, penyebaran kuman penyakit dari kotoran manusia yang
dibuang sembarangan di air banjir menjadi berlipat ganda. Walaupun demikian
selama ini belum pernah ada laporan kasus serius penyakit yang diderita
masyarakat pasca banjir. Ada 1 praktek baik dari salah satu keluarga. Keluarga
tersebut melengkapi rumahnya dengan dengan kakus yang dibuat tinggi dari
permukaan tanah. Saat banjir, kakus masih dapat digunakan karena tidak terendam
air. Pembuangan limbah disalurkan pada septi tank. Model kakus seperti ini
sangat cocok terutama di wilayah rawan banjir sehingga limbah pembuangan tidak
semakin mencemari air banjir.
Opsi Yang Lebih Baik
Kebertahanan Sohoya Terhadap Banjir
Kondisi
yang dihadapi Desa Sohoya cukup kompleks, akses jalan yang belum memadai,
fasilitas sekolah yang minim, sarana kesehatan yang belum tersedia hingga
rentannya desa ini terhadap ancaman banjir. Berdasarkan diskusi dengan beberapa
anggota masyarakat termasuk dengan Sekretaris Desa Sohoya, angka kematian
balita dalam 10 tahun terakhir sekitar 15 orang. Penyebab kematian umumnya
deman, batuk, diare dan mencret. Sementara itu angka keguguran ibu hamil
terdapat 30 kasus dan Angka kematian ibu saat melahirkan sekitar 15 kasus.
Untuk
upaya PRB dan kesiapsiagaan, normalisasi sungai Mola adalah hal penting yang
harus segera dikerjakan serta perbaikan drainase desa. Upaya vegetasi dengan
penanaman pohon-pohon pelindung dapat sekalian dilakukan. Perlu membuat
beberapa evacuation shelter dalam
bentuk rumah panggung yang dapat menampung kelompok rentan seperti anak-anak,
ibu hamil dan manula jika ketinggian banjir semakin naik. Sebagai catatan desa
ini berada pada tanah datar, dimana daerah dataran tinggi berada sekitar 8 km
dari Sohoya. Pada situasi normal tempat evacuation shelter dapat difungsikan
sebagai tempat sekolah, puskesmas pembantu atau balai desa. Di evacuation
shelter, perlu dilengkapi peralatan dan perlengkapan emerjensi seperti lumbung
emerjensi, dapur emerjensi, kakus emerjensi. Semoga opsi-opsi yang lebih baik
untuk membangun kebertahanan masyarakat Sohoya dapat terwujud dan mendapatkan
perhatian serius dari pemerintah.
Let's create our own world through writing, cinematography, photos, etc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar